Penerapan program kesehatan kerja di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Tantangan terbesar menurut dr. Ade Mutiara, MKK, SpOk, praktisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), adalah bagaimana meyakinkan manajemen perusahaan bahwa kesehatan kerja adalah hal yang penting. Perusahaan cenderung hanya memperhatikan sisi keselamatan kerja, seperti mengedepankan pencegahan kecelakaan kerja; namun kurang dalam memberi perhatian pada penyakit akibat kerja (PAK) yang tidak terjadi secara langsung, melainkan berangsur-angsur dalam periode yang lama. Seperti penyakit akibat paparan timbal, misalnya. Penyebab PAK pun juga kompleks dan tidak bisa diperlihatkan langsung di depan mata. Menurut dr. Ade, ini juga yang menyebabkan laporan PAK terbilang masih underreported di Indonesia. Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah PAK, di antaranya edukasi dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan, khususnya yang bertugas di puskesmas.
“Menyehatkan pekerja adalah upaya strategis untuk menyehatkan bangsa” merupakan keyakinan yang dipegang oleh dr. Ade yang saat ini bekerja sebagai Occupational Health and Medicine Lead di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Keyakinan ini menggerakkan kecintaannya pada bidang kesehatan kerja dan dedikasinya untuk berkontribusi membesarkan bidang kedokteran okupasi di Indonesia.
Bagaimana tidak, sebanyak 70 persen penduduk Indonesia masuk dalam kelompok usia produktif. Sementara, lebih dari setengah penduduk Indonesia merupakan pekerja. Ironisnya, jumlah dokter spesialis okupasi di negara ini bahkan belum mencapai angka 300 orang.
“Tercebur” ke dalam kolam pencerahan
“Saya mendalami bidang kesehatan kerja karena “tercebur” atau tidak sengaja,” kenang dr. Ade.
Seperti lulusan kedokteran pada umumnya, dr. Ade awalnya ingin mengambil spesialisasi klinis seperti spesialis bedah atau anak. Namun, penugasannya sebagai seorang dokter di daerah pelosok Kalimantan Timur melalui program wajib Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada tahun 1995, mengubah segalanya.
Setelah menyelesaikan PTT pada tahun 1998, dr. Ade bekerja di sebuah pabrik bubur kertas di sana. “Karena daerahnya yang remote, cukup sulit untuk mencari dokter. Saya langsung diminta memegang klinik perusahaan tanpa mengetahui latar belakang mengenai kedokteran okupasi.”
Tanpa disangka, ini adalah titik awal dari perjalanannya yang panjang di bidang kesehatan kerja. “Selama bekerja di perusahaan tersebut, saya belajar banyak sekali tentang bidang ini, baik melalui hands-on experience saat bekerja maupun dari bertukar pikiran dengan rekan kerja ekspatriat yang memperkenalkan bidang ini kepada saya. Pada saat itu saya sudah mulai merasakan kecocokan dengan bidang ini, namun masih merasa dilematis dengan keinginan lama saya.”
dr. Ade akhirnya mengambil program pendidikan spesialis kedokteran anak sekembalinya ke Jakarta pada tahun 2005, namun kemudian merasa tidak cocok dan memutuskan berhenti.
“Ternyata, saya memang lebih cocok di kedokteran okupasi,” ucapnya sembari tertawa. dr. Ade memandang kedokteran okupasi sebagai bidang yang lebih menantang baginya, “Populasi pekerja adalah populasi yang berisiko. Mereka terpapar oleh beragam bahaya.”
Menyelami bidang kesehatan kerja
Pada tahun 2010, dr. Ade kembali lagi bekerja di bidang kesehatan kerja. Kali ini, di salah satu perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia, British Petroleum (BP). Berkantor di Papua, dr. Ade menjabat sebagai Senior Occupational Health Doctor dan bertugas mengembangkan program kesehatan kerja di operasi LNG BP di sana.
Pengalamannya bekerja sebagai dokter kesehatan kerja di sektor minyak dan gas bumi selama lebih dari 15 tahun mengantarkannya kepada posisinya sekarang di SKK Migas. Sebagai Occupational Health and Medicine Lead, dr. Ade membuat standar indikator-indikator dalam program K3 SKK Migas dan memastikan seluruh perusahaan yang bergerak di industri hulu migas mematuhinya.
“Pemerintah mewajibkan pemberi kerja mengupayakan kesehatan kerja di perusahaan mereka. Peraturan tentang K3 ini diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 pasal 231 – 244. Saya memastikan peraturan itu dipatuhi oleh seluruh operasi hulu migas,” imbuh dr. Ade.
Setelah sebelumnya menempuh pendidikan Magister Kedokteran Okupasi dan Program Spesialis Kedokteran Okupasi kelas khusus kerja sama SKK Migas dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), kini dr. Ade tengah mengambil program doktor kedokteran okupasi di universitas yang sama.
Meneliti paparan timbal untuk membantu mengatasinya
dr. Ade kemudian meneliti hubungan antara salah satu logam paling beracun, yakni timbal (plumbum/Pb), dengan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia, yakni diabetes.
“Sindrom metabolik (SM) [sekelompok kondisi yang meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan diabetes] merupakan global burden, termasuk Indonesia. Dalam pekerjaan saya sehari-hari, isu SM merupakan ancaman bagi produktivitas pekerja. Sudah banyak penelitian terkait gaya hidup yang berkontribusi besar terhadap terjadinya SM, namun saya tertarik untuk melihat salah satu kontributor terjadinya SM dari sisi okupasi terutama pada paparan logam berat. Karena timbal merupakan jenis logam berat yang paling banyak digunakan dalam industri, saya mencoba mencari hubungan antara timbal ini dengan terjadinya SM khususnya mengenai resistensi insulin dalam penelitian saya.”
Pada tahun 2023, dr. Ade ikut terlibat sebagai tim peneliti pada kajian kadar timbal darah (KTD) di beberapa lokasi terpajan di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Yayasan Pure Earth Indonesia dan Occupational and Environmental Health Research Center (OEHRC) IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). “Pada kajian itu kami menemukan adanya hubungan antara tingginya kadar timbal darah orang tua pekerja dengan kadar timbal darah anak mereka,” tutur dr. Ade.
Kajian tersebut menemukan bahwa KTD orang tua yang melebihi 20 µg/dL meningkatkan risiko tingginya KTD pada anak hingga enam kali lipat. “Orang tua yang terpapar timbal di tempat kerjanya membawa pulang timbal ke dalam rumah,” jelas dr. Ade. Ini semakin menunjukkan betapa pentingnya memastikan penerapan kesehatan kerja, karena selain berdampak pada pekerja, dalam kasus-kasus tertentu seperti timbal, juga bisa berdampak kepada mereka yang berhubungan dengan pekerja, termasuk keluarga mereka.
Sulitnya memberi sorotan pada yang tak kasat mata
“Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan sudah jelas, yakni zero accident. Kecelakaan kerja terjadi secara right away, dan bisa dilihat langsung secara jelas penyebab serta akibatnya, ” kata dr. Ade. “Hal ini menyebabkan kecelakaan kerja bisa menjadi sesuatu yang memalukan bagi perusahaan bila terjadi,” tambahnya.
Lain halnya dengan penyakit akibat kerja (PAK) yang tidak terjadi secara langsung, melainkan berangsur-angsur dalam periode yang lama mulai dari bulanan hingga tahunan. Seperti penyakit akibat paparan timbal, misalnya. Penyebab PAK pun juga kompleks dan tidak bisa diperlihatkan langsung di depan mata. “Karena dokternya tidak mengerti, dikiranya penyakit biasa, padahal bisa saja penyakit tersebut berhubungan atau diakibatkan oleh pekerjaan.”
Faktor-faktor tersebut membuat kesehatan kerja kurang mendapat perhatian dari perusahaan, terlepas dari sudah adanya peraturan yang mengatur tentang itu. “Pada timbal misalnya, sudah ada aturan yang mengatur ambang batas timbal lingkungan dan timbal yang diserap pekerja. Perusahaan wajib melakukan biomonitoring, memeriksa KTD para pekerja secara rutin, setahun sekali. Biomonitoring ini dilakukan setelah mengukur timbal lingkungan. Tapi tidak semua perusahaan mau melakukan pengukuran timbal lingkungan, karena mahal.” Padahal, dr. Ade menjelaskan bahwa PAK, seperti hipertensi dan diabetes, juga bisa mengganggu produktivitas kerja yang tentu secara langsung berdampak pada produktivitas perusahaan.
Kurangnya kompetensi dan sumber daya
Tantangan penerapan kesehatan kerja ini bahkan semakin besar pada sektor informal. dr. Ade mencontohkan praktik daur ulang aki bekas di Indonesia yang sebagian besar dilakukan secara informal. Pertanyaannya: Tanggung jawab siapakah penerapan kesehatan kerja ini?
“Sebenarnya, sudah ada peraturan tentang ini. Di atas kertas, hal tersebut sudah menjadi tugas puskesmas. Kesehatan kerja adalah salah satu program mereka. Puskesmas diharapkan memahami industri apa saja yang berjalan di lingkungan sekitar wilayah kerjanya. Puskesmas harusnya melakukan pemeriksaan dan monitoring para pekerja yang terpapar tersebut. Jadi, puskesmas di area paparan timbal seperti di Pesarean misalnya, harusnya mengerti dan melakukan upaya kesehatan kerja bagi para pekerja daur ulang aki bekas ini. Mereka harus memeriksa dan mengedukasi masyarakat terkait paparan timbal yang bisa berakibat buruk bagi kesehatan pekerja dan keluarganya.”
Masalahnya, menurut dr. Ade, kebanyakan dokter di puskesmas adalah dokter yang baru lulus, sehingga memiliki kompetensi yang cukup minim terkait bidang kesehatan kerja. Mahasiswa pendidikan kedokteran umumnya hanya terekspos materi kesehatan kerja selama dua bulan dari total enam tahun pendidikan kedokteran yang ditempuh.
Selain faktor kompetensi, kurangnya sumber daya juga menjadi penyebab tidak berjalannya program kesehatan kerja ini. Puskesmas di daerah rata-rata hanya memiliki satu hingga dua dokter. Padahal, puskesmas memiliki banyak sekali program yang harus dijalankan, selain tentunya menangani pasien, seperti program posyandu, pencegahan TBC, dan lain sebagainya.
Edukasi sebagai solusi
Salah satu yang bisa diupayakan, menurut dr. Ade, adalah meningkatkan kompetensi para dokter puskesmas. Upaya ini bisa dilakukan dengan menambah jam kurikulum kesehatan kerja pada pendidikan dokter umum. “Agar saat bekerja di puskesmas mereka lebih siap untuk menjalankan program kesehatan kerja. Supaya mereka mengerti bahaya yang dihadapi oleh masyarakat di industri yang berjalan di area kerjanya. Sehingga mereka tahu pemeriksaan rutin seperti apa yang harus mereka lakukan.”
dr. Ade juga berharap semakin banyak lulusan kedokteran umum yang tertarik untuk mengambil bidang kedokteran okupasi, mengingat dokter kesehatan kerja lah yang bisa berperan besar mengedukasi pihak perusahaan dan juga para pekerja di sektor formal terkait kesehatan kerja.
Meski masih kurang populer, dr. Ade optimis terhadap masa depan bidang kesehatan kerja di Indonesia. Saat ini, dr. Ade terlibat aktif sebagai sekretaris di International Component Society of Occupational and Environmental Medicine (ICSOEM) dan Scientific Committee of Occupational Medicine of International Commission of Occupational Health (SCOM-ICOH). Selain memperkenalkan bidang kesehatan kerja di Indonesia ke kancah internasional, melalui partisipasinya di organisasi profesi internasional, dr. Ade juga berharap bisa mendapatkan informasi terbaru serta ilmu dari negara-negara lain yang mungkin bisa diterapkan di Indonesia.
dr. Ade selalu berkeyakinan bahwa apa yang ia lakukan memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan para pekerja Indonesia yang dalam jangka panjang berkontribusi untuk menyehatkan dan mensejahterakan generasi masa depan bangsa ini.